Berawal dari harapan Kasino, seorang pensiunan perusahaan telekomunikasi, yang menginginkan sektor pertanian menjadi primadona di Indonesia. Pasalnya, ia prihatin melihat kondisi pertanian di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai lahan untuk meraih pendapatan yang menjanjikan. Akhirnya, di areal perkebunan seluas 700 m2, Kasino menaman sayuran dengan menggunakan metode vertikultur. Ide ini berawal sejak ia melihat tanaman glodok yang tumbuh ke atas. "Saya pelajari semua dengan otodidak, mencoba terus sampai menemukan sistem yang tepat," tutur Kasino, saat ditemui di kebunnya di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur. Tujuan yang ingin dicapai Kasino dengan metode vertikultur adalah melakukan efisiensi sampai 50-200 kali lipat. "Juga ingin mengubah image petani yang selama ini terkesan kotor, berubah menjadi bersih. Apalagi kini lahan pertanian makin banyak tergusur di wilayah kota." Kasino pun menuangkan inspirasinya ini dengan menanam sayuran tanpa perlu lahan luas. Maret 2007 Kasino lalu membentuk Industri Pertanian Kasino (IPK) dengan mengawali menanam seledri pakai kaleng bekas cat dan es krim. Kaleng-kaleng ini lalu disusun ke atas. Berbagai tanaman seperti tebu, tomat, sawi, dan setidaknya ada lebih dari 47 tingkat sayuran dicoba ditanam. Hasilnya? Sungguh mengagumkan. Seledri tumbuh subur, begitu pula tebu, tomat, dan sawi. Bayangkan, seledri yang biasa tumbuh di daerah dingin, di Sidoarjo yang bersuhu panas, tetap bisa tumbuh subur dan besar-besar. Keberhasilan ini ditunjang nutrisi dan media tanam yang dibuat sendiri. Media tanamnya kompos, sekam bakar, gergaji kayu, abu batu, arang, belerang, bekicot, dan keong emas. Sebagai penyubur tanamannya, Kasino terilhami dari beberapa hal. Misalnya, belerang dari gunung meletus, bangkai tikus di sawah, atau bekicot yang bisa menyuburkan tanaman. Semuanya dicampurkan dan direndam di air selama 3 hari agar hasilnya bagus. Kemudian, dijadikan media tanam. Jadi, nutrisi yang dipakai berasal dari campuran unsur nabati, hewani, dan hara yang dicampur aduk. Kasino memang memanfaatkan betul bahan yang ada. Begitu juga dengan pengairan, Kasino menggunakan mainan anak (dakon atau congklak) sebagai wadah pengairan. Dibentuk sedemikian rupa, hingga bisa mengaliri seluruh tanaman merata dari atas ke bawah. Sayangnya, Kasino menemui kendala soal mendapatkan kaleng cat atau es krim bekas yang dipakainya, karena masih sulit diperoleh dan mahal. Kasino pun lalau mengakali dengan menggunakan pralon yang lebih mudah diperoleh. Secara teknis perlubangan, lagi-lagi Kasino menemui kesulitan. "Jika metode vertikultur ini sudah berjalan, sebenarnya masyarakat punya peluang bisnis baru, yaitu menjual pralon yang sudah dilubangi. Jadi, yang ingin mencoba teknik ini, tinggal membeli pralonnya," tutur Kasino yang tak pelit membagikan ilmunya ini. Dalam waktu sebulan, lanjutnya, metode ini bisa dipelajari. Selain lebih efisien, karena hasil yang diperoleh lebih banyak dibandingkan menanam sayuran secara konvensional, panen dari sayurand engan metode vertiluktur juga tak mengenal waktu, bisa 3-4 kali panen. Kasino membandingkan antara menaman vertikultur secara konvensional. Misalnya menanam tebu di kaleng (10 susun), akan menghasilkan 200 batang. Sementara menanam tebu di tanah 1 m2 hanya akan menghasilkan 4 batang saja. Jauhs ekali, bukan bedanya? Seberapa banyak tingkat kegagalannya? Biasanya, kata Kasino, masalahnya ada si soal pengairan. Jika pengairan memakai selang, lama-lama bisa berlumut. Jika tak jeli melakukan pengawasan, tanaman pun bisa layu. "Sistem pengairan merupakan jantungnya vertikultur, karena harus merata ke beberapa tempat. Makin sering disiram sebenarnya makin bagus, karena tidak pakai zat kimia." Penggunaan Pralon Seperti halnya Kasino di Sidoarjo, pensiunan pegawai negeri asal Nganjuk, Jawa Timur, Pramban Budiharto, juga mencoba menaman sayuran di media pralon. Meski tidak berlatar belakang pertanian, bapak 3 anak lulusan Teknik Geodesi UGM ini mencoba menerapkan sebuah sistem. "Sistemnya saling terkait, mulai dari pembuatan nutrisi, media tanam, teknik pengairan, dan pola tanam. Faktor air sangat penting dan harus teruji," jelasnya. Kubis adalah sayuran pertama yang ia tanam. Pralon setinggi 2 meter dilubangi dengan jarak dan diameter tertentu. Di lubang itu bibit sayuran ditanam, tentu saja dilengkapi nutrisi yang tepat. "Jika jarak lubangnya terlalu pendek, misalnya & cm, hasil kubisnya akan kecil-kecil. Kecuali jataknya 20 cm, kubisnya akan tumbuh lebih baik. Tapi soal kualitas, kubis Nganjuk dijamin lebih, keras, hijau, enak, dan manis," ujar Pramban sambil tersenyum. Selain sistem terpadu yang harus dilakukan berurutan, Pramban juga menjamin tanamannya bebas hama. Hama dapat dimusnahkan dengan pupuk tembakau, mimbo, mahoni, gadung, dan air kapur, yang diolah dan disemprotkan ke tanaman. Pemberian nutrisi dilakukan melalui proses siram dan sirat (semprot), dengan perbandingan 1 liter nutrisi dicampur 20 liter air. "Prinsipnya, tanaman juga perlu air bersih. Penyiraman dengan menyemprotkan air diperbolehkan." Yang penting, lanjut Pramban, semuanya harus dilakukan dengan sabar dan telaten. Sistem vertikultur pada dasarnya menciptakan "sawah". Halaman sempit bukanlah masalah lagi. Pralon dipilih karena mudah didapat dan tak perlu khawator soal kualitasnya. Pramban menyarankan, "Pilih saja pralon yang paling jelek dan murah atau yang TM (tanpa merk). Penggunaan limbah (barang bekas) ini tidak akan berpengaruh pada hasil tanaman, kok," yakinnya Noverita K. Waldan Foto: Gandhi Wasono/NOVA |
0 Response to "Menanam Sayur dengan Vertikultur"
Post a Comment